Entah kenapa, setiap kali saya melihat Ayu Rosmalina a.k.a Ayu Ting Ting di TV atau mendengar lagu "Alamat Palsu" dinyanyikan, saya malah teringat dengan 7-Eleven yang sekarang biasa dipanggil Sevel. Sebuah convenience store dari Jepang yang sekarang saya rasakan sedang happening di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Dalam bahasa sederhana, dapatlah dikatakan bahwa "
a convenience store (sometimes called a variety store, corner store) is usually a small store or shop that sells items such as: snack foods, tobacco products, newspaper, magazine or fast food". Meskipun
Sevel selaku
convenience store ini menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan
supermarket atau
grocery store, tetap saja animo untuk berbelanja tinggi dengan satu resep rahasia. Apakah resep rahasianya?
I will tell you later.
Pikiran saya melayang ke masa saya masih bersekolah di SMAN 3 Jakarta (saya lulusan tahun 1988) karena ternyata saya dengan teman-teman saya pernah belanja di
7-Eleven di bilangan Pancoran, kira-kira lokasinya dekat sebuah toko buah-buahan. Suasananya sepi, dengan display yang biasa-biasa saja dan dengan harga yang tidak biasa bagi kantong seorang siswa SMA.
Yak, benar ...
7-Eleven pernah beroperasi di Indonesia beberapa belas tahun lalu dan kurang mendapat sambutan yang hangat sehingga akhirnya memutuskan untuk berhenti beroperasi sebelum akhirnya "
come back' dan sukses. Banyak faktor seperti sepinya pengunjung dan barangkali belum siapnya "
mindset" untuk menerima konsep
convenience store, meskipun sudah ada
Circle K yang lebih dikenal.
Btw, saya sengaja menulis
7-Eleven dan bukan
Sevel untuk membedakan antara yang dahulu dan sekarang.
Ternyata pula, kalau saya tidak salah (mudah-mudahan tidak salah), saya pernah melihat
performance Ayu Rosmalina a.k.a Ayu Ting Ting beberapa tahun lalu sewaktu teman saya menyanyikan lagu tersebut di sebuah karaoke. Dan pada saat itu, aura lagu "Alamat Palsu" terdengar biasa-biasa saja, bahkan
a little bit boring, I think ...
Di video klip tersebut Ayu Rosmalina berpakaian seperti ibu-ibu dan menyanyi dengan latar belakang rumah dan settingnya latar belakangnya berubah ke sebuah taman dengan buinga-bunga berukuran besar yang kalau tidak salah adalah bunga Dahlia. Kalau salah bagaimana? Ya, berarti bukan bunga Dahlia, lah ...
Yak, benar .... lagu "Alamat Palsu" yang sedang
happening sekarang ternyata mirip dengan kasus
Sevel diatas. Tidak
booming pada awalnya beberapa tahun lalu tapi sekarang menjadi fenomena. Satu hal yang bisa digarisbawahi adalah
Korean fever yang membantu memuluskan perubahan "
mindset" untuk menerima Ayu Rosmalina a.k.a Ayu Ting Ting, meskipun sudah ada ribuan pedangdut lainnya yang sedang berjuang untuk terkenal.
Differentiation strategy untuk menjadi berbeda atau unik sebagai
competitive advantage memang mumpuni bagi Ayu Rosmalina a.k.a. Ayu Ting Ting dan
Sevel. Teknik
repackaging yang dipakai untuk mengganti "kemasan" berfungsi seperti yang diharapkan. "
I'll be back!" demikianlah kata Arnold dalam film
Terminator.
Bagi
Sevel (sekarang saya sebut
Sevel untuk identitas
reborn-nya), teknik
repacking yang dipakai adalah merubah diri dari sebuah
convenience store biasa menjadi
convenience store dengan
restaurant atmosphere. Sehingga
crowd yang ada ditampung dengan meja berpayung (maupun tidak berpayung). Adalah strategi jitu karena memang ijin yang dipakai oleh
Sevel untuk masuk kembali ke Indonesia adalah ijin
restaurant.
Bagi Ayu Rosmalina a.k.a. Ayu Ting Ting, teknik
repacking yang dipakai adalah memakai
outfit atau
wearing apparel yang tidak bernuansa "dangdut". Dengan memakai
outfit seperti anak muda yang hendak
hang out di
Sevel ditambah dengan perubahan warna rambut yang "
winter sonata wannabe", semakin memudahkan langkahnya di blantika musik Dangdut tanah air.
Perubahan
repacking seperti yang telah disebutkan diatas memang membantu untuk prose
spreading,
coverage dan
penetration ke
segmented target market, baik bagi seorang penyanyi Dangdut maupun sebuah bisnis
retail.
Dengan bantuan
public relation melalui
social media terkait, bahkan dibentuk titik-titik
opion leader untuk penggiringan
public awareness, dapatlah dikatakan telah merupakan kombinasi
marketing yang sangat baik. Bahkan dalam satu adegan di fim "Thor" (salah satu tokoh s
uperhero Marvel yang menjadi anggota
The Avengers" dengan senjata andalan Palu dan merupakan anak dari Odin, dewa petir dari tokoh mitologi Nordik), ada adegan toko
Sevel meledak akibat pertempuran Thor dengan musuhnya. Yang menarik adalah lokasi toko tersebut diceritakan di sebuah kota terpencil di tengah gurun pasir Amerika Serikat. Penasaran? Tunggu saja filmnya beredar di Indonesia.
OK lah untuk contoh diatas, terus apa hubungannya dengan Logistik?
Saya pikir hal tersebut juga bisa dipakai dalam dunia Logistik. Sampai sekarang masih banyak orang yang "asing" dan bahkan ada juga yang secara spontan berkomentar, ... "Logistik apaan sih?".
Jika kita asosiasikan analogi serupa terjadi dengan nasib nama "Indonesia" yang kurang terkenal dibandingkan dengan "Bali", maka pertanyaan baliknya adalah kenapa orang Indonesia tidak lebih gigih lagi mempromosikan "Indonesia" ke dunia luar.
Hal yang sama juga berlaku di dunia Logistik. Dalam bahasa terus terangnya adalah jika sampai saat ini orang kebanyakan masih "asing" bahkan dengan kata Logistik, maka tentu saja pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi ini adalah para pelaku Logistik itu sendiri.
Dengan banyak "kemudahan"
social media seperti
Facebook, Twitter, Blog dan lain sebagainya, yang paling fundamental adalah merubah
mindset orang Logistik itu sendiri dahulu untuk mau "meluangkan waktu" mempromosikan Logistik ke seluruh
stake holder di Indonesia.
Habis gelap terbitlah terang.
Repacking bagi orang Logistik sangatlah diperlukan agar lebih mudah "diterima" sehingga orang yang tadinya tidak tertarik pun menjadi
aware bahkan akhirnya mau
hang out di
Logistics convenience store. Dari seorang yang berpakaian "ibu-ibu" menjadi seorang berpakaian "
in of date" dan menarik perhatian secara masif.
Kalau begitu, untuk apa dan apa untungnya untuk saya, mungkin anda bertanya dalam hati. Jawabannya adalah untuk membantu merubah
mindset yang sudah ada selama ini bahwa Logistik adalah urusan kesekian dari hal yang harus diperhatikan. Sedangkan untungnya adalah jika
mindset sudah berubah maka sangat gampang bagi (misalnya) pemerintah untuk membangun infrastruktur berbasis rel atau hal lainnya yang tentunya sangat membantu pekerjaan maupun kehidupan sehari-sehari. Siapa yang tidak senang dan setuju jika gara-gara
mindset berubah, infrastruktur berikut perangkatnya diperbaiki, sehingga
cost menjadi turun. Bukankah hidup juga menjadi lebih nyaman jika kemacetan berkurang?
Jika krisis ekonomi Indonesia dimulai dari tahun 1998, maka tahun depan kita akan merayakan hari ulang tahun ke 14. Berarti tinggal 3 tahun lagi diperlukan untuk bisa punya SIM. Padahal menurut hemat saya, krisis ekonomi Indonesia sebagian besarnya adalah krisis Logistik yang membutuhkan "pengobatan" Logistik, tentunya.
Lantas apa buktinya memakai
social media merupakan sarana yang cukup ampuh untuk masalah Logistik. Buktinya adalah anda sedang membaca tulisan ini.
If mindset already changed, others will follow ...
Salam Logistik dan Supply Chain,
R. Didiet Rachmat Hidayat, A.Md, S.E., M.Si
Logistics Expert
e-mail/YM/FB/Twitter/Skype: didiet.hidayat@yahoo.com